Basmalah

Basmalah

Rabu, 18 April 2018

Disharmoni Gedung Perkuliahan


Berbicara tentang kampus Universitas Tidar, tak pernah bosan kita melihat berbagai permasalahan-permasalahan yang ada. Kami pun tak tahu, apakah itu adalah faktor kesengajaan, kekeliruan atau hanya sekedar ingin menampilkan sebuah estetika yang imbasnya ada pihak yang tak berbahagia terhadap hal tersebut. Memang patut berkata jujur, memang ada nilai estetika ketika jendela gedung Fakultas Ekonomi di beberapa kelas di susun semacam itu, namun apalah gunanya sebuah estetika jika tidak di ikuti dengan fungsionalisasi yang sesuai. Hanya karena jendela yang di susun semacam itu, proses belajar mengajar menjadi kurang kondusif sehingga proses transfer ilmu jadi kurang optimal. Untuk permasalahan ini, minimal perlu adanya tirai untuk menutupi kontak langsung dengan sinar matahari
Tidak hanya hal itu saja, kejadian kurang menyenangkan juga terjadi di gedung Fakultas Teknik dan Fakultas Ekonomi yang baru dibangun. Ketika hujan suara bising menghinggapi dan mengganggu proses belajar mengajar. Itu terjadi karena atap gedung nya berupa seng yang akan menimbulkan suara bising saat turunnya hujan. Hal ini bukan hanya mengganggu proses belajar mengajar tetapi bahkan proses transfer ilmu bisa terhenti sejenak dikarenakan suaranya yang melebihi intonasi suara mahasiswa dan dosen yang sedang berkomunikasi, mahasiswa yang berada di lantai 4 yang paling merasakannys. Secara akumulatif banyak yang merasakan, bahkan dosen pun ikut mengeluhkan hal tersebut. Kami tak tahu apakah ini juga faktor kesengajaan, kekeliruan atau estetika 
Maka sudah jelas hal tersebut merupakan sesuatu yang mesti di tanggapi dengan baik dan benar.

Beli roti di siang hari
Tak kelupaan membeli degan
Aduh kok panasnya hari ini
Oh gedungnya yang transparan

Bang Toyib suaranya fasih
Kerjaannya jalan-jalan
Nih gedung berisik amat sih
Eh tak taunya turun hujan

Jam 12 dipanggil majikan
Disuruh untuk membeli ikan
Sekian yang dapat disampaikan
Terimakasih kami ucapkan

Rabu, 04 April 2018

Puisi itu Multi tafsir

Oleh : Tiorivaldi

Puisi sangat berbeda dengan perkataan dan kalimat yang biasanya kita ucapkan sehari-hari. Karena puisi memiliki makna yang digunakan untuk menggiring pikiran manusia untuk masuk dalam keindahan kalimat tersebut. Jadi, ketika puisi tersebut hendak disampaikan oleh pembaca. Kemungkinan untuk terjadinya perbedaan persepsi dalam makna dan substansi maksud dari puisi yang disampaikan akan berbeda-beda. Akan aneh ketika kita hendak menjustifikasi suatu puisi sebagai suatu keburukan atau kita sebut saja bad moral hanya karena apa yang menjadi pandangan dan persepsi kita.
Saat ini sedang menjadi trending topic, sebuah puisi yang dibacakan oleh bu Sukmawati dikarenakan apa yang di sampaikan kepada pendengar mendapat alunan yang negatif. Kita sebut saja puisi yang berjudul "Ibu Indonesia" adalah puisi yang dibacakan oleh bu Sukmawati. Saya akan menggunakan dua kacamata dalam mencoba memberikan pandangan dalam puisi tersebut yaitu kacamata seni dan kacamata politik
Saat saya menempatkan diri sebagai pegiat atau pecinta seni, yang saya rasakan tidak ada kesalahan dalam puisi yang disampaikan oleh bu Sukmawati. Seperti yang saya sampaikan tadi bahwa puisi itu berbeda dengan kalimat biasa, maka tak bisa kita menempatkan kesalahan bu Sukmawati itu sama dengan kesalahan yang dilakukan oleh pak Ahok dulu. Karena ini penyampaian puisi dan pak Ahok dulu menyampaikannya dengan kalimat biasa yang jelas dan tanpa tafsir ganda. Kita tidak bisa membawa interpretasi kita sebagai suatu kebenaran. Saya akan mencoba mengulas lebih dalam terkait hal ini dengan menggunakan pendekatan hermeneutika yang merupakan salah satu jenis filsafat yang mempelajari tentang interpretasi makna. Hermeneutika yang dibawa oleh Barat sebagai cara untuk memahami suatu teks mempunyai berbagai macam, ada yang menempatkan subjek pembaca teks dan ada yang mengabaikan subjek pembaca teks. Yang mengabaikan subjek pembaca teks, jadi dikembalikan kepada penulis yang menciptakan suatu tulisan tersebut. Sehingga ketika penulis mengatakan suatu hal terkait tulisan tersebut, maka hal tersebut sudah menjadi sebuah kebenaran. Dan ada juga hermeneutika yang mengadakan subjek pembaca teks sebagai penafsir, memberikan tempat kepada pembaca untuk menginterpretasikan apa yang ia baca. Tetapi sering kali untuk hal yang kedua ini dikarenakan penulis memang sudah tiada lagi. Seperti hermeneutika yang dilakukan untuk penafsiran kitab suci dan lain sebagainya. Maka pendekatan yang paling tepat menurut saya untuk digunakan pada kasus puisi "Ibu Indonesia" saat ini, kita kembalikan terlebih dahulu tafsirannya kepada penulis. Ketika penulis mengatakan makna yang berbeda dengan yang kita pikirkan, maka kita harus berlapang dada untuk menerimanya. Kecuali jika kita benar-benar bersikeras menjadikan model subjek pembaca teks sebagai penafsir yang lebih memiliki dominasi dibanding penulis teks. Tetapi apalah daya dan guna untuk meributkan hal tersebut
Lalu bagaimana jika saya menempatkan diri dalam mengamati kondisi politik saat ini ? Masa-masa saat ini adalah masa-masa nya untuk mencari citra baik dikarenakan semakin dekatnya pemilihan umum baik tingkat regional maupun nasional. Jadi, setiap halnya bisa saja berbau politik untuk mencari massa dalam memenangkan calon mereka sendiri. Coba bayangkan bu Sukmawati sudah minta ma'af dan umat islam di Indonesia masih bersikeras dengan pendiriannya untuk membawa kepada jalur hukum dan lain sebagainya seperti yang terjadi pada pak Ahok sebelumnya. Bukankah orang-orang akan semakin mengira tak ada toleransi dalam Islam yang berujung semakin berkurang massa yang akan menjadi pemenangan umat Islam ketika pemilihan presiden nanti ? Bahkan bu Sukmawati sampai menangis dalam permintaan ma'af, apakah tidak sedikitpun termuncul dalam benak kita drama tersebut untuk meraih simpati massa lebih banyak lagi ? Itu merupakan sesuatu yang cukup saya khawatirkan jika benar akan terjadi. Membangun citra positif itu sangat sulit dan menghancurkannya sangat mudah sekali, maka jangan sampai kita sebagai umat Islam dengan mudahnya tergiring dengan opini-opini publik yang berujung degradasi pemilih pada pihak umat Islam sendiri. Ingatlah kembali "puisi tidak sama dengan kata-kata belaka"
Saya rasa apa yang menjadi problematika yang terjadi saat ini, selalu lah media sebagai aktor utama nya. Hanya karena viral di media dan di blow up oleh massa, itu bisa menjadi kegelisahan bersama oleh seluruh manusia yang memperhatikan media. Kasus pak Ahok pun mestilah tidak terlepas dari hal tersebut.
Maka cobalah kembali untuk bersikap lebih moderat terhadap suatu keadaan. Gunakan intelektual bukan perasaan dalam setiap melaksanakan suatu hal. Jika kita sangat gampang dalam menampilkan penolakan kepada apapun yang dirasa menyinggung kita, itu bisa menjadi bumerang bagi kita sendiri suatu saat ini.
Tetap bergerak demi kejayaan Islam dan Indonesia

wallahu 'alam bishshawab