Resume :
Tiorivaldi
(Diambil
dari buku Intelegensia Muslim – Yudhi Latif dan Ijtihad Membangun Basis gerakan
– Amin Sudarsono)
Kekuatan
penggerak bagi perkembangan awal gerakan dakwah ialah tersingkrinya para intelektual
Islam secara sosio-politik. Mereka harus berhadapan dengan acaman dari dua arah
sekaligus: represi politik dari negara dan tantangan dari kaum Muslim yang berpikiran
liberal. Didorong oleh aspirasi-aspirasi politik Islam di satu sisi, namun
berhadapan dengan halangan yang diciptakan pemerintah terhadap Islam politik di
sisi lain, kelompok Islamis ini mengalami proses dislokasi politik yang akut.
Sementara itu, media massa secara umum, sebagai manifestasi dari ruang publik
yang lain, cenderung bertindak sebagai aparatur ideologi negara untuk mendukung
modernisasi. Dengan begitu, pers terkondisikan untuk bersikap simpatik terhadap
gerakan pembaharuan. Menyadari bahwa ruang publik itu bersikap memusuhi
aspirasi-aspirasi ideo-politik mereka, para intelektual Islamis menciptakan
sebuah gerakan sosial yang subtil dan cair, yang relatif kedap terhadap kontrol
negara, sebagai sebuahfondasi baru bagi pembentukan solidaritas dan identitas
kolektif.Dengan berbuat demikian, mereka mulai menciptakan ‘blok luar’ Muslim
(di luar struktur politik formal Orde Baru).
Alternatif
sumber daya bagi mobilisasi tindakan kolektif baru dari kelompok Islamis ini
ditemukan di ruang masjid-masjid ‘independen’ yang relatif ‘bebas’, yang ada di
milieu kampus-kampus universitas. Fungsi masjid sebagai pangkalan sentral gerakan-gerakan
religio-politik bukanlah sesuatu yang asing bagi Dunia Muslim. Meski demikian,
kehadiran masjid-masjid yang permanen di milieu universitas-universitas sekuler
dan penggunaannya sebagai base camp gerakan-gerakan religio-politik dari
para mahasiswa universitas sekuler merupakan sebuah fenomena baru dalam sejarah
Indonesia. Kebanyakan masjid di universitas sekuler muncul dalam periode Orde
Baru. Yang menjadi titik penanda dari fenomena ini adalah didirikannya masjid-masjid
kampus di milieu universitas-universitas yang prestisius seperti di Institut
Teknologi Bandung (ITB) dan di Universitas Indonesia (UI).
Pendirian
masjid ITB, yang bernama Masjid Salman, telah direncanakan oleh sekumpulan
kecil aktivis Islam dari institusi tersebut sejak tahun 1958. Namun, dengan
adanya halangan-halangan material dan psikologis, terutama adanya respons yang tidak
mendukung dari pihak rektorat terhadap ide pembangunan sebuah masjid di dalam
‘benteng intelektual sekuler’ itu, menjadikan perwujudan pembangunan itu
tertunda sampai akhirnya baru bisa diselesaikan pada tahun 1972. Masjid UI mulai
dibangun pada tahun 1966 dan selesai pada tahun 1968. Masjid itu diberi nama
Masjid Arief Rahman Hakim untuk mengenang nama seorang aktivis Islam UI yang
menjadi martir dalam gerakan mahasiswa tahun 1966. Kebanyakan masjid-masjid kampus
lainnya mulai berdiri sejak tahun-tahun terakhir tahun 1970-an.
Sebelum
terbangunnya Masjid kampus, para aktivis Islam memulai aktivitas-aktivitas
keagamaan mereka di ruang-ruang publik, seperti ruang-ruang kelas atau
auditorium. Karena seringnya mengalami kesulitan mendapatkan ijin resmi untuk mendirikan
masjid dalam kampus, banyak strategi ‘pintar’ dijalankan. Pendirian masjid IPB,
Al-Ghifari pada awal tahun 1980-an, misalnya, merupakan sebuah kasus yang
menarik. Awalnya, proposal yang diajukan kepada pihak yang berwenang ialah
pembangunan laboratorium. Namun, begitu pembangunannya selesai, para aktivis
Islam pelan-pelan menguah fungsi bangunan itu dari laboratorium sains menjadi
laboratorium ‘spiritual’. Di kebanyakan kampus yang lain, strategi yang dijalankan
ialah dengan memasukkan pihak rektorat ke dalam susuan kepanitiaan pembangunan
masjid, dan strategi ini sangat efektif. Pendekatan ini bisa efektif karena performance
awal dari gerakan masjid ini tidak menunjukkan kesan bahwa gerakan ini memiliki
agenda politik.
Para
pemimpin awal (para intelektual organik) dari gerakan-gerakan masjid ini
sebagian besar berasal dari para intelektual HMI/PII yang berorientasi dakwah,
yang merupakan generasi keempat inteligensia Muslim. Audiens mereka yang
pertama ialah para aktivis Islam dari generasi kelima inteligensia Muslim, terutama
yang masuk universitas pada tahun 1970-an. Dalam periode persiapan ini,
penggerak utama dari gerakan ini terutama berasal dari para anggota HMI/PII
juga. Meskipun kelompok-kelompok mahasiswa kiri telah jatuh, namun para aktivis
dari organisasi-organisasi mahasiswa Islam pada tahun 1970-an masih termotivasi
oleh sengitnya persaingan politik kemahasiswaan dengan front-front mahasiswa
sekuler, terutama dalam rangka untuk mengontrol lembaga pemerintahan mahasiswa
intrauniversitas. Dalam kondisi ini, para aktivis Islam memiliki visi yang sama
dengan generasi aktivis dakwah yang lebih tua untuk menjadikan masjid kampus
sebagai basis bagi aktivitas-aktivitas mahasiswa, baik untuk mempersiapkan dan
memperbanyak kader dan konstituen Islam maupun untuk menemukan jalan untuk
menjembatani perbedaan-perbedaan antara para aktivis mahasiswa yang memiliki latar belakang
organisasi yang berbeda. Namun, bagi generasi yang lebih tua, terdapat
kepentingan tambahan: yaitu untuk melindungi para mahasiswa universitas sekuler
dari pengaruh gerakan pembaharuan.
Prototip
dari gerakan masjid ini muncul dari Masjid Salman ITB pada awal tahun 1970-an,
yang mengadopsi ideologi dan ‘intelektual gerakan’ (movement intellectual)
dari Latihan Mujahid Dakwah (LMD). LMD pertama kali diperkenalkan oleh
Imaduddin Abdulrahim dan rekan-rekannya115 kepada jamaah Masjid Salman pada
tahun 1973. Yang menarik, materi dasar dari ideologi LMD ternyata merupakan
versi modifikasi dari NDP (-nya HMI) yang disusun (utamanya oleh) Madjid dengan
penekanan yang kuat pada doktrin tauhid dan perhatian khusus terhadap ancaman
perang pikiran (ghazwul fikr) dengan ide-ide sekuler Barat. Terlibatnya
Abdulrahim dalam jaringan mahasiswa Islam internasional. Salah satu jaringan
yang paling penting ialah International Islamic Federation of Student Organizations
(IIFSO, berdiri tahun 1969). Atas dorongan Natsir, Abdulrahim mulai secara
aktif terlibat dalam organisasi ini pada tahun 1971 dan dengan cepat memegang
jabatan sebagai Wakil Sekretaris Jenderal.
Apa yang
membuat LMD menjadi istimewa dan berpengaruh ialah pendekatan pelatihannya.
Para peserta LMD diharuskan tinggal dalam kompleks Masjid Salman selama sekitar
seminggu dan diisolasi dari kontak dengan dunia luar. Pelatihan dimulai satu
jam sebelum sholat subuh dan sepanjang siang, para peserta mengikuti
diskusi-diskusi kelompok kecil yang intens dan menantang. Pada malam hari,
mereka harus menjalankan sholat malam (sunnah), dan pada malam terakhir, mereka
harus mengucapkan kalimat syahadat di depan para trainer-nya.
Kelahiran kecenderungan
berpikir keagamaan yang baru ini ditandai dengan dikenakannya jilbab oleh para
aktivis perempuan, dan dengan cepat, hal ini menjadi simbol dari gerakan (dakwah)
masjid. Dalam perkembangan lebih lanjut, LMD menjadi lahan rekrutmen bagi para
mentor junior yang akan memberikan turorial Islam atau mentoring bagi para
mahasiswa ITB yang lain. Karena aktivitas mentoring menarik para mahasiswa dari
universitas-universitas lain dan bahkan para siswa sekolah menengah atas di
Bandung, pihak Masjid Salman mengakomodasi antusiasme itu lewat pembentukan
KARISMA.
Aktivitas-aktivitas
mentoring, dimana para pesertanya diorganisir menjadi kelompok-kelompok diskusi
kecil, menjadi basis bagi terciptanya lingkaran-lingkaran kelompok-kelompok kohesif,
yang disebut usrah (dari bahasa Arab, yang berarti keluarga). Setiap sel
usrah memiliki mentornya sendiri yang bertindak sebagai seorang
motivator dan teladan, serta sebagai jembatan untuk menghubungkan
kelompok-kelompok kecil dengan keseluruhan entitas gerakan masjid. Pada
gilirannya, para anggota usrah, akan menjadi para dai baru yang secara aktif
merekrut para anggota baru.
LMD dengan
segera menarik para aktivis Islam dari universitas-universitas sekuler yang
lain. Maka, para pesertanya pun diperluas sehingga mencakup para mahasiswa dari
beragam universitas di seluruh Indonesia. Setelah mengikuti LMD, para wakil
dari setiap kampus mulai mengadakan training dakwah dan program mentoring
di kampusnya masing-masing dengan memodifikasi materi dan pendekatan Masjid
Salman. Dengan cara ini, mereka meletakkan fondasi bagi pendirian lembaga
dakwah masjid kampus, yang lebih dikenal sebagai Lembaga Dakwah Kampus (LDK).
Di samping itu, para mantan peserta LMD juga menjadi rantai koneksi bagi
jaringan informal para aktivis dakwah antar universitas dan bagi penyebarluasan
ideologi Islamis. Jaringan informal ini memudahkan mobilisasi sumber daya,
seperti misalnya koordinasi rencana aksi bersama, pertukaran informasi dan
penyediaan dai-dai atau instruktur-instruktur agama bagi acara-acara keagamaan
tertentu. Aksi simultan dari lembaga-lembaga dakwah kampus secara cepat
memperluas ranah pengaruh dari ide-ide Islamis.
Keberhasilan
program-program LMD membangkitkan gerakan masjid di luar kampus. Meningkatnya
gerakan masjid di luar kampus sendiri sebenarnya berbarengan dengan terjadinya fenomena
‘Islamic turn’ di universitas-universitas sekuler. Tahun 1970-an merupakan
periode formatif bagi munculnya gerakan remaja masjid di seluruh
Indonesia dimana banyak aktivis berlatar belakang HMI/PII terlibat dalam periode
persiapannya. Saat gerakan remaja masjid meningkat anggotanya di seluruh Indonesia,
berdirilah Badan Komunikasi Pemuda Masjid Indonesia (BKPMI) pada tahun 1977
untuk memperkuat jaringan di antara mereka. Secara struktural, BKPMI beroperasi
sebagai sebuah institusi yang otonom dari Dewan Masjid Indonesia, sementara Dewan
Masjid sendiri merupakan bagian dari Dewan Masjid Dunia (World Council of
Mosques, berafiliasi ke Liga Dunia Muslim, Muslim World League)
dengan Mohammad Natsir menjadi salah satu anggotanya. BKPMI, yang sejak tahun
1993 berubah menjadi BKPRMI, menjadi katalis bagi penyebarluasan ide-ide
Islamis di luar kampus. Pada akhir tahun 1970-an, cakupan dan kekuatan dari
gerakan masjid ini mulai memasuki sebuah tahap baru seiring dengan meningkatnya
represi politik Orde Baru. Pada akhir tahun 1970-an, politik mahasiswa mencapai
titik terendahnya.
Simbol
institusi perlawanan mahasiswa saat itu adalah Dewan Mahasiswa, organisasi
intra kampus yang berkembang di semua kampus. Karena Dewan Mahasiswa menjadi pelopor
gerakan mahasiswa dalam menolak pencalonan Soeharto pasca Pemilu 1977, kampus
dianggap tidak normal saat itu dan dirasa perlu untuk “dinormalkan.” Lahirlah kebijakan
Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) sekaligus pembubaran dan pelarangan organisasi
intra universitas di tingkat perguruan tinggi itu. Untuk “menormalkan” keadaan
di kampus, pemerintah melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef
mengeluarkan SK No. 0156/U/1978 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK). Disusul
dengan SK No. 0230/U/J/1980 tentang Pedoman Umum Organisasi dan Keanggotaan
Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK). NKK/BKK adalah kebijakan pemerintah untuk
mengubah format organisasi kemahasiswaan dengan melarang mahasiswa terjun ke dalam
politik praktis. Sejak tahun 1978 itulah, NKK/BKK diterapkan di kampus,
aktivitas kemahasiswaan terkonsentrasi di kantong-kantong Himpunan Jurusan dan
Fakultas. Mahasiswa dipecah-pecah dalam disiplin ilmu mereka masing-masing.
Ikatan mahasiswa antar kampus yang diperbolehkan juga yang berorientasi pada
disiplin ilmunya, misalnya Ikatan Senat Mahasiswa Ekonomi Indonesia (ISMEI),
Ikatan Senat Mahasiswa Pertanian Indonesia (ISMPI) dan sebagainya. Dalam konsep
NKK/BKK, kegiatan kemahasiswaan diarahkan pada pengembangan diri mahasiswa sebagai
bagian masyarakat ilmiah. Sehingga dunia mahasiswa pada kurun masa itu terasa
jauh dari denyut nadi persoalan riil masyarakat sekitarnya. Awalnya, aktivitas
mahasiswa dikatakan sebagai kegiatan politik praktis yang tidak sesuai iklim masyarakat
ilmiah. Kekuatan mahasiswa kemudian “dipagari” pada wilayah minat dan bakat,
kerohanian, dan penalaran. Disusul kemudian dengan kebijakan sistem kredit
semester (SKS), mahasiswa digiring menjadi insan akademis yang hanya berkutat
dengan pelajaran dan berlomba menyelesaikan kuliah.
Mulai saat
itu, gerakan mahasiswa menurun massivitasnya karena pemerintah semakin otoriter,
represif, paranoid dan manipulatif terhadap aksi-aksi yang dilakukan oleh mahasiswa..
Pada awal tahun 1980-an, kesanggupan baik organisasi-organisasi mahasiswa ekstra
kampus maupun lembaga-lembaga eksekutif mahasiswa intra-kampus (yaitu senat
mahasiswa tingkat fakultas) sebagai medium bagi aktualisasi aspirasi-aspirasi
politik mahasiswa telah sangat menurun. HMI, misalnya, mulai kehilangan daya tariknya
bagi para mahasiswa Islam. Karena adanya kebijakan NKK yang mengisolasi kampus dari pengaruh organisasi-organisasi
sosio-politik eksternal, HMI kehilangan pijakannya yang kokoh di dalam
universitas. HMI juga sangat kehilangan kredibilitasnya di mata para aktivis Islam
kampus karena sikap kooperatifnya yang makin terlihat dengan ajaran dan
struktur politik negara. HMI secara resmi mengubah prinsip organisasinya dari
Islam menjadi Pancasila pada Kongres HMI keenambelas di Padang (24-31 Maret
1986). Perubahan ini menyebabkan organisasi tersebut terpecah menjadi dua kubu,
karena mereka yang menolak diterimanya Pancasila sebagai satu-satunya azas
organisasi keluar dari HMI dan membentuk sebuah organisasi saingan yang bernama
HMIMPO (Himpunan Mahasiswa Islam – Majelis Pertimbangan Organisasi). Sesudah
itu, kepemimpinan HMI cenderung mengikuti garis sikap akomodasionis. Dengan
depolitisasi dunia mahasiswa, aktivitas mahasiswa di dalam kampus disalurkan ke
dalam organisasi-organisasi intramahasiswa yang memenuhi tuntutan mahasiswa
akan hiburan dan perkembangan profesi. Namun, beberapa aktivitas mahasiswa berusaha
untuk mengaktualisasikan kritik mereka lewat gerakan masjid dan lewat
pembentukan kelompok-kelompok diskusi umum yang mulai menjamur pada awal tahun
1980-an. Gerakan masjid kampus dan kelompok-kelompok diskusi umum sendiri
menunjukkan kecenderungan-kecenderungan antitetis. Sementara yang pertama
beroperasi di dalam milieu universitas, yang terakhir pada umumnya beroperasi
di luar tembok universitas. Yang pertama bertujuan untuk merekrut konstituen
yang lebih besar dan hal ini dipermudah dengan operasinya di dalam kampus.
Sementara kelompok-kelompok diskusi tak pernah berusaha untuk merekrut
keanggotaan yang besar dan cenderung terasing dari kehidupan mahasiswa sehari-hari
karena operasinya yang berada di luar kampus. Sementara ideologi perlawanan
dari gerakan masjid ditimba dari ideologi-ideologi Islamis, ideologi perlawanan
kelompok-kelompok diskusi secara umum sangat dipengaruhi oleh ideologi-ideologi
kiri dan kiri baru. Sementara gerakan masjid menghubungkan diri dengan jaringan
harakah Islam yang bersifat lokal dan global, kelompok-kelompok diskusi
kebanyakan berhubungan dengan jaringan organisasi-organisasi non-pemerintah (non-governmental
organizations, NGOs) yang lokal dan global. Dalam perkembangan lebih
jauh, gerakan masjid menjadi lebih berhasil mengkonsolidasikan dirinya
ketimbang kelompok-kelompok diskusi dan gerakan NGO, karena mampu mempertahankan
‘communicative sphere’-nya sebagai syarat niscaya untuk mempertahankan dan
memperluas komunitas intelektual. Dengan beroperasi di dalam masjid, gerakan
masjid memiliki semacam pelindung untuk melindungi dirinya dari kontrol
langsung aparatur keamanan. Sedangkan kelompok diskusi tidak memiliki pelindung
semacam itu dan karena itu lebih mudah dikontrol atau dieliminasi oleh
pemerintah.
Secara
hukum, NKK/BKK telah habis masa berlakunya semenjak terbitnya SK Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Fuad Hassan No. 0457/0/1990 tentang Pola Pembinaan dan
Pengembangan Kemahasiswaan di Perguruan Tinggi. Melalui peraturan baru ini,
wadah organisasi mahasiswa difasilitasi oleh Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi
(SMPT). Namun, tidak ada perubahan yang mendasar antara NKK/BKK dan SMPT. Hal
ini tercermin dalam status dan kedudukannya yang berada di bawah Rektor.
Berbeda dengan Dewan Mahasiswa yang memiliki hubungan sejajar dengan Rektor. Kampus-kampus
masjid terus berfungsi sebagai pusat-pusat percontohan gerakan masjid. Pelan
namun pasti, hampir setiap universitas sekuler mengembangkan LDK-nya sendiri,
dan setiap LDK membentuk kolaborasi dengan para dosen agama Islam untuk
menjamin bahwa program ‘mentoring’
menjadi bagian dari perkuliahan.
Para aktivis
dakwah pada akhir tahun 1980-an dan 1990-an lebih berdedikasi, ketimbang para
aktivis dakwah tahun 1960-an/1970-an yang didominasi aktivis HMI/PII, dalam
apresiasinya terhadap kehidupan masjid. Menurut seorang aktivis masjid kampus
yang terkenal pada tahun 1990-an, Fahri Hamzah, masjid bukan merupakan
pangkalan utama bagi training dan aktivitas-aktivitas HMI/PII, karena
baru akhir tahun 1960-an para intelektual HMI/PII yang berorientasi dakwah
mulai mengalihkan perhatiannya ke masjid sebagai basis mereka. Sementara, bagi
para aktivis dakwah yang lebih kemudian, masjid bukan hanya menjadi pangkalan
utama bagi training dan aktivitas-aktivitas mereka sejak awal, namun
juga, bagi kebanyakan dari mereka, menjadi rumah tempat tinggal mereka.
Karena
mayoritas Muslim Indonesia telah terekspos secara mendalam terhadap proses modernisasi,
dan karena kebanyakan aktivis kampus juga telah sangat akrab dengan sains dan
teknologi modern, maka para aktivis dakwah yang lebih kemudian ini mulai
mengambil jarak dari proyek historis yang telah diemban oleh generasi-generasi
inteligensia Muslim sebelumnya. Sementara yang menjadi kepedulian utama
generasi sebelumnya ialah bagaimana melakukan ‘modernisasi
Islam’, yang menjadi kepedulian utama dari aktivis
dakwah yang lebih kemudian ialah bagaimana melakukan ‘Islamisasi
modernitas’. Sebagai konsekuensinya, orang-orang seperti
Imaduddin Abdulrahim dan para aktivis dakwah pada tahun 1960-an dan 1970-an,
yang biasanya dipandang sebagai terlalu Islamis oleh standar pada masanya,
mulai dianggap sebagai terlalu moderat oleh standar para aktivis dakwah pada
akhir tahun 1980-an dan 1990-an. Misalnya saja, Abdulrahim tidak ngotot agar
istrinya mengenakan jilbab, padahal hal itu oleh para aktivis dakwah 1980-an/1990-an
dipandang sebagai keharusan bagi seorang pemeluk sejati Islam dan sebagai ikon
bagi Islamisasi modernitas. Slogan-slogan seperti ‘Islam
adalah solusi’ dan ‘Islam
adalah alternatif ’ sekarang menjadi bergema di seluruh
kampus-kampus universitas.
Untuk
mengkonsolidasikan kelompok-kelompok LDK dan untuk memperkuat kerjasama di
antara mereka, para aktivis dari beragam latar kampus menyelenggarakan
pertemuan antar LDK pertama yang disebut Forum Silaturahmi (FS)-LDK di masjid
Salman ITB pada tahun 1987. Pada pertemuan antar-LDK yang kedua, yang diadakan
di masjid Al-Ghifari pada tahun 1987, dirumuskan khitah LDK sebagai
berikut:‘Perjuangan LDK didasarkan pada Islam sebagai
agama Allah dan sebagai jalan hidup, dan LDK akan bersatu atas dasar ikatan
syahadat’Forum informal ini membentuk sebuah jaringan
yang mempertalikan para aktivis dakwah ini satu sama lain, sehinggamemperkuat
identitas dan solidaritas kolektif mereka. Forum ini juga menjadi saluran bagi
pertukaran ide-ide, pengalokasian sumber-sumber daya, dan memperkuat jaringan. FS-LDK
dengan ideologi dan jaringannya berfungsi sebagai basis bagi tindakan
sosio-politik yang lebih lanjut.
Di
tengah-tengah gerakan reformasi, pertemuan antar-LDK kesepuluh diadakan di
masjid Universitas Muhammadiyah Malang pada tanggal 25-29 Maret 1998, yang
diikuti oleh 64 dari 69 LDK yang ada di seluruh Indonesia. Pertemuan itu
sepakat untuk mengubah jaringan LDK menjadi Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim
Indonesia (KAMMI) dengan Fahri Hamzah dari UI sebagai ketuanya yang pertama.
Akronim ‘KAMMI’
terinspirasikan oleh akronim‘KAMI’,
yang merupakan gerakan mahasiswa tahun 1966 yang didominasi oleh HMI. Namun,
dalam KAMMI yang baru terbentuk itu, HMI tidak masuk, dan peran HMI dalam
gerakan reformasi juga marjinal. KAMMI menjadi kesatuan aksi mahasiswa yang
paling kuat dalam gerakan mahasiswa 1998 dan sesudahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar