Basmalah

Basmalah

Rabu, 05 Juli 2017

Sejarah Lembaga Dakwah Kampus (LDK) dan Perkembangannya

Resume : Tiorivaldi
(Diambil dari buku Intelegensia Muslim – Yudhi Latif dan Ijtihad Membangun Basis gerakan – Amin Sudarsono) 

Kekuatan penggerak bagi perkembangan awal gerakan dakwah ialah tersingkrinya para intelektual Islam secara sosio-politik. Mereka harus berhadapan dengan acaman dari dua arah sekaligus: represi politik dari negara dan tantangan dari kaum Muslim yang berpikiran liberal. Didorong oleh aspirasi-aspirasi politik Islam di satu sisi, namun berhadapan dengan halangan yang diciptakan pemerintah terhadap Islam politik di sisi lain, kelompok Islamis ini mengalami proses dislokasi politik yang akut. Sementara itu, media massa secara umum, sebagai manifestasi dari ruang publik yang lain, cenderung bertindak sebagai aparatur ideologi negara untuk mendukung modernisasi. Dengan begitu, pers terkondisikan untuk bersikap simpatik terhadap gerakan pembaharuan. Menyadari bahwa ruang publik itu bersikap memusuhi aspirasi-aspirasi ideo-politik mereka, para intelektual Islamis menciptakan sebuah gerakan sosial yang subtil dan cair, yang relatif kedap terhadap kontrol negara, sebagai sebuahfondasi baru bagi pembentukan solidaritas dan identitas kolektif.Dengan berbuat demikian, mereka mulai menciptakan ‘blok luar’ Muslim (di luar struktur politik formal Orde Baru).

Alternatif sumber daya bagi mobilisasi tindakan kolektif baru dari kelompok Islamis ini ditemukan di ruang masjid-masjid ‘independen’ yang relatif ‘bebas’, yang ada di milieu kampus-kampus universitas. Fungsi masjid sebagai pangkalan sentral gerakan-gerakan religio-politik bukanlah sesuatu yang asing bagi Dunia Muslim. Meski demikian, kehadiran masjid-masjid yang permanen di milieu universitas-universitas sekuler dan penggunaannya sebagai base camp gerakan-gerakan religio-politik dari para mahasiswa universitas sekuler merupakan sebuah fenomena baru dalam sejarah Indonesia. Kebanyakan masjid di universitas sekuler muncul dalam periode Orde Baru. Yang menjadi titik penanda dari fenomena ini adalah didirikannya masjid-masjid kampus di milieu universitas-universitas yang prestisius seperti di Institut Teknologi Bandung (ITB) dan di Universitas Indonesia (UI).

Pendirian masjid ITB, yang bernama Masjid Salman, telah direncanakan oleh sekumpulan kecil aktivis Islam dari institusi tersebut sejak tahun 1958. Namun, dengan adanya halangan-halangan material dan psikologis, terutama adanya respons yang tidak mendukung dari pihak rektorat terhadap ide pembangunan sebuah masjid di dalam ‘benteng intelektual sekuler’ itu, menjadikan perwujudan pembangunan itu tertunda sampai akhirnya baru bisa diselesaikan pada tahun 1972. Masjid UI mulai dibangun pada tahun 1966 dan selesai pada tahun 1968. Masjid itu diberi nama Masjid Arief Rahman Hakim untuk mengenang nama seorang aktivis Islam UI yang menjadi martir dalam gerakan mahasiswa tahun 1966. Kebanyakan masjid-masjid kampus lainnya mulai berdiri sejak tahun-tahun terakhir tahun 1970-an.

Sebelum terbangunnya Masjid kampus, para aktivis Islam memulai aktivitas-aktivitas keagamaan mereka di ruang-ruang publik, seperti ruang-ruang kelas atau auditorium. Karena seringnya mengalami kesulitan mendapatkan ijin resmi untuk mendirikan masjid dalam kampus, banyak strategi ‘pintar’ dijalankan. Pendirian masjid IPB, Al-Ghifari pada awal tahun 1980-an, misalnya, merupakan sebuah kasus yang menarik. Awalnya, proposal yang diajukan kepada pihak yang berwenang ialah pembangunan laboratorium. Namun, begitu pembangunannya selesai, para aktivis Islam pelan-pelan menguah fungsi bangunan itu dari laboratorium sains menjadi laboratorium ‘spiritual’. Di kebanyakan kampus yang lain, strategi yang dijalankan ialah dengan memasukkan pihak rektorat ke dalam susuan kepanitiaan pembangunan masjid, dan strategi ini sangat efektif. Pendekatan ini bisa efektif karena performance awal dari gerakan masjid ini tidak menunjukkan kesan bahwa gerakan ini memiliki agenda politik.

Para pemimpin awal (para intelektual organik) dari gerakan-gerakan masjid ini sebagian besar berasal dari para intelektual HMI/PII yang berorientasi dakwah, yang merupakan generasi keempat inteligensia Muslim. Audiens mereka yang pertama ialah para aktivis Islam dari generasi kelima inteligensia Muslim, terutama yang masuk universitas pada tahun 1970-an. Dalam periode persiapan ini, penggerak utama dari gerakan ini terutama berasal dari para anggota HMI/PII juga. Meskipun kelompok-kelompok mahasiswa kiri telah jatuh, namun para aktivis dari organisasi-organisasi mahasiswa Islam pada tahun 1970-an masih termotivasi oleh sengitnya persaingan politik kemahasiswaan dengan front-front mahasiswa sekuler, terutama dalam rangka untuk mengontrol lembaga pemerintahan mahasiswa intrauniversitas. Dalam kondisi ini, para aktivis Islam memiliki visi yang sama dengan generasi aktivis dakwah yang lebih tua untuk menjadikan masjid kampus sebagai basis bagi aktivitas-aktivitas mahasiswa, baik untuk mempersiapkan dan memperbanyak kader dan konstituen Islam maupun untuk menemukan jalan untuk menjembatani perbedaan-perbedaan antara para aktivis  mahasiswa yang memiliki latar belakang organisasi yang berbeda. Namun, bagi generasi yang lebih tua, terdapat kepentingan tambahan: yaitu untuk melindungi para mahasiswa universitas sekuler dari pengaruh gerakan pembaharuan.

Prototip dari gerakan masjid ini muncul dari Masjid Salman ITB pada awal tahun 1970-an, yang mengadopsi ideologi dan ‘intelektual gerakan’ (movement intellectual) dari Latihan Mujahid Dakwah (LMD). LMD pertama kali diperkenalkan oleh Imaduddin Abdulrahim dan rekan-rekannya115 kepada jamaah Masjid Salman pada tahun 1973. Yang menarik, materi dasar dari ideologi LMD ternyata merupakan versi modifikasi dari NDP (-nya HMI) yang disusun (utamanya oleh) Madjid dengan penekanan yang kuat pada doktrin tauhid dan perhatian khusus terhadap ancaman perang pikiran (ghazwul fikr) dengan ide-ide sekuler Barat. Terlibatnya Abdulrahim dalam jaringan mahasiswa Islam internasional. Salah satu jaringan yang paling penting ialah International Islamic Federation of Student Organizations (IIFSO, berdiri tahun 1969). Atas dorongan Natsir, Abdulrahim mulai secara aktif terlibat dalam organisasi ini pada tahun 1971 dan dengan cepat memegang jabatan sebagai Wakil Sekretaris Jenderal.

Apa yang membuat LMD menjadi istimewa dan berpengaruh ialah pendekatan pelatihannya. Para peserta LMD diharuskan tinggal dalam kompleks Masjid Salman selama sekitar seminggu dan diisolasi dari kontak dengan dunia luar. Pelatihan dimulai satu jam sebelum sholat subuh dan sepanjang siang, para peserta mengikuti diskusi-diskusi kelompok kecil yang intens dan menantang. Pada malam hari, mereka harus menjalankan sholat malam (sunnah), dan pada malam terakhir, mereka harus mengucapkan kalimat syahadat di depan para trainer-nya.

Kelahiran kecenderungan berpikir keagamaan yang baru ini ditandai dengan dikenakannya jilbab oleh para aktivis perempuan, dan dengan cepat, hal ini menjadi simbol dari gerakan (dakwah) masjid. Dalam perkembangan lebih lanjut, LMD menjadi lahan rekrutmen bagi para mentor junior yang akan memberikan turorial Islam atau mentoring bagi para mahasiswa ITB yang lain. Karena aktivitas mentoring menarik para mahasiswa dari universitas-universitas lain dan bahkan para siswa sekolah menengah atas di Bandung, pihak Masjid Salman mengakomodasi antusiasme itu lewat pembentukan KARISMA.

Aktivitas-aktivitas mentoring, dimana para pesertanya diorganisir menjadi kelompok-kelompok diskusi kecil, menjadi basis bagi terciptanya lingkaran-lingkaran kelompok-kelompok kohesif, yang disebut usrah (dari bahasa Arab, yang berarti keluarga). Setiap sel usrah memiliki mentornya sendiri yang bertindak sebagai seorang motivator dan teladan, serta sebagai jembatan untuk menghubungkan kelompok-kelompok kecil dengan keseluruhan entitas gerakan masjid. Pada gilirannya, para anggota usrah, akan menjadi para dai baru yang secara aktif merekrut para anggota baru.

LMD dengan segera menarik para aktivis Islam dari universitas-universitas sekuler yang lain. Maka, para pesertanya pun diperluas sehingga mencakup para mahasiswa dari beragam universitas di seluruh Indonesia. Setelah mengikuti LMD, para wakil dari setiap kampus mulai mengadakan training dakwah dan program mentoring di kampusnya masing-masing dengan memodifikasi materi dan pendekatan Masjid Salman. Dengan cara ini, mereka meletakkan fondasi bagi pendirian lembaga dakwah masjid kampus, yang lebih dikenal sebagai Lembaga Dakwah Kampus (LDK). Di samping itu, para mantan peserta LMD juga menjadi rantai koneksi bagi jaringan informal para aktivis dakwah antar universitas dan bagi penyebarluasan ideologi Islamis. Jaringan informal ini memudahkan mobilisasi sumber daya, seperti misalnya koordinasi rencana aksi bersama, pertukaran informasi dan penyediaan dai-dai atau instruktur-instruktur agama bagi acara-acara keagamaan tertentu. Aksi simultan dari lembaga-lembaga dakwah kampus secara cepat memperluas ranah pengaruh dari ide-ide Islamis.

Keberhasilan program-program LMD membangkitkan gerakan masjid di luar kampus. Meningkatnya gerakan masjid di luar kampus sendiri sebenarnya berbarengan dengan terjadinya fenomena ‘Islamic turn’ di universitas-universitas sekuler. Tahun 1970-an merupakan periode formatif bagi munculnya gerakan remaja masjid di seluruh Indonesia dimana banyak aktivis berlatar belakang HMI/PII terlibat dalam periode persiapannya. Saat gerakan remaja masjid meningkat anggotanya di seluruh Indonesia, berdirilah Badan Komunikasi Pemuda Masjid Indonesia (BKPMI) pada tahun 1977 untuk memperkuat jaringan di antara mereka. Secara struktural, BKPMI beroperasi sebagai sebuah institusi yang otonom dari Dewan Masjid Indonesia, sementara Dewan Masjid sendiri merupakan bagian dari Dewan Masjid Dunia (World Council of Mosques, berafiliasi ke Liga Dunia Muslim, Muslim World League) dengan Mohammad Natsir menjadi salah satu anggotanya. BKPMI, yang sejak tahun 1993 berubah menjadi BKPRMI, menjadi katalis bagi penyebarluasan ide-ide Islamis di luar kampus. Pada akhir tahun 1970-an, cakupan dan kekuatan dari gerakan masjid ini mulai memasuki sebuah tahap baru seiring dengan meningkatnya represi politik Orde Baru. Pada akhir tahun 1970-an, politik mahasiswa mencapai titik terendahnya.

Simbol institusi perlawanan mahasiswa saat itu adalah Dewan Mahasiswa, organisasi intra kampus yang berkembang di semua kampus. Karena Dewan Mahasiswa menjadi pelopor gerakan mahasiswa dalam menolak pencalonan Soeharto pasca Pemilu 1977, kampus dianggap tidak normal saat itu dan dirasa perlu untuk “dinormalkan.” Lahirlah kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) sekaligus pembubaran dan pelarangan organisasi intra universitas di tingkat perguruan tinggi itu. Untuk “menormalkan” keadaan di kampus, pemerintah melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef mengeluarkan SK No. 0156/U/1978 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK). Disusul dengan SK No. 0230/U/J/1980 tentang Pedoman Umum Organisasi dan Keanggotaan Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK). NKK/BKK adalah kebijakan pemerintah untuk mengubah format organisasi kemahasiswaan dengan melarang mahasiswa terjun ke dalam politik praktis. Sejak tahun 1978 itulah, NKK/BKK diterapkan di kampus, aktivitas kemahasiswaan terkonsentrasi di kantong-kantong Himpunan Jurusan dan Fakultas. Mahasiswa dipecah-pecah dalam disiplin ilmu mereka masing-masing. Ikatan mahasiswa antar kampus yang diperbolehkan juga yang berorientasi pada disiplin ilmunya, misalnya Ikatan Senat Mahasiswa Ekonomi Indonesia (ISMEI), Ikatan Senat Mahasiswa Pertanian Indonesia (ISMPI) dan sebagainya. Dalam konsep NKK/BKK, kegiatan kemahasiswaan diarahkan pada pengembangan diri mahasiswa sebagai bagian masyarakat ilmiah. Sehingga dunia mahasiswa pada kurun masa itu terasa jauh dari denyut nadi persoalan riil masyarakat sekitarnya. Awalnya, aktivitas mahasiswa dikatakan sebagai kegiatan politik praktis yang tidak sesuai iklim masyarakat ilmiah. Kekuatan mahasiswa kemudian “dipagari” pada wilayah minat dan bakat, kerohanian, dan penalaran. Disusul kemudian dengan kebijakan sistem kredit semester (SKS), mahasiswa digiring menjadi insan akademis yang hanya berkutat dengan pelajaran dan berlomba menyelesaikan kuliah.

Mulai saat itu, gerakan mahasiswa menurun massivitasnya karena pemerintah semakin otoriter, represif, paranoid dan manipulatif terhadap aksi-aksi yang dilakukan oleh mahasiswa.. Pada awal tahun 1980-an, kesanggupan baik organisasi-organisasi mahasiswa ekstra kampus maupun lembaga-lembaga eksekutif mahasiswa intra-kampus (yaitu senat mahasiswa tingkat fakultas) sebagai medium bagi aktualisasi aspirasi-aspirasi politik mahasiswa telah sangat menurun. HMI, misalnya, mulai kehilangan daya tariknya bagi para mahasiswa Islam. Karena adanya kebijakan NKK yang mengisolasi  kampus dari pengaruh organisasi-organisasi sosio-politik eksternal, HMI kehilangan pijakannya yang kokoh di dalam universitas. HMI juga sangat kehilangan kredibilitasnya di mata para aktivis Islam kampus karena sikap kooperatifnya yang makin terlihat dengan ajaran dan struktur politik negara. HMI secara resmi mengubah prinsip organisasinya dari Islam menjadi Pancasila pada Kongres HMI keenambelas di Padang (24-31 Maret 1986). Perubahan ini menyebabkan organisasi tersebut terpecah menjadi dua kubu, karena mereka yang menolak diterimanya Pancasila sebagai satu-satunya azas organisasi keluar dari HMI dan membentuk sebuah organisasi saingan yang bernama HMIMPO (Himpunan Mahasiswa Islam – Majelis Pertimbangan Organisasi). Sesudah itu, kepemimpinan HMI cenderung mengikuti garis sikap akomodasionis. Dengan depolitisasi dunia mahasiswa, aktivitas mahasiswa di dalam kampus disalurkan ke dalam organisasi-organisasi intramahasiswa yang memenuhi tuntutan mahasiswa akan hiburan dan perkembangan profesi. Namun, beberapa aktivitas mahasiswa berusaha untuk mengaktualisasikan kritik mereka lewat gerakan masjid dan lewat pembentukan kelompok-kelompok diskusi umum yang mulai menjamur pada awal tahun 1980-an. Gerakan masjid kampus dan kelompok-kelompok diskusi umum sendiri menunjukkan kecenderungan-kecenderungan antitetis. Sementara yang pertama beroperasi di dalam milieu universitas, yang terakhir pada umumnya beroperasi di luar tembok universitas. Yang pertama bertujuan untuk merekrut konstituen yang lebih besar dan hal ini dipermudah dengan operasinya di dalam kampus. Sementara kelompok-kelompok diskusi tak pernah berusaha untuk merekrut keanggotaan yang besar dan cenderung terasing dari kehidupan mahasiswa sehari-hari karena operasinya yang berada di luar kampus. Sementara ideologi perlawanan dari gerakan masjid ditimba dari ideologi-ideologi Islamis, ideologi perlawanan kelompok-kelompok diskusi secara umum sangat dipengaruhi oleh ideologi-ideologi kiri dan kiri baru. Sementara gerakan masjid menghubungkan diri dengan jaringan harakah Islam yang bersifat lokal dan global, kelompok-kelompok diskusi kebanyakan berhubungan dengan jaringan organisasi-organisasi non-pemerintah (non-governmental organizations, NGOs) yang lokal dan global. Dalam perkembangan lebih jauh, gerakan masjid menjadi lebih berhasil mengkonsolidasikan dirinya ketimbang kelompok-kelompok diskusi dan gerakan NGO, karena mampu mempertahankan ‘communicative sphere’-nya sebagai syarat niscaya untuk mempertahankan dan memperluas komunitas intelektual. Dengan beroperasi di dalam masjid, gerakan masjid memiliki semacam pelindung untuk melindungi dirinya dari kontrol langsung aparatur keamanan. Sedangkan kelompok diskusi tidak memiliki pelindung semacam itu dan karena itu lebih mudah dikontrol atau dieliminasi oleh pemerintah.

Secara hukum, NKK/BKK telah habis masa berlakunya semenjak terbitnya SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Fuad Hassan No. 0457/0/1990 tentang Pola Pembinaan dan Pengembangan Kemahasiswaan di Perguruan Tinggi. Melalui peraturan baru ini, wadah organisasi mahasiswa difasilitasi oleh Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT). Namun, tidak ada perubahan yang mendasar antara NKK/BKK dan SMPT. Hal ini tercermin dalam status dan kedudukannya yang berada di bawah Rektor. Berbeda dengan Dewan Mahasiswa yang memiliki hubungan sejajar dengan Rektor. Kampus-kampus masjid terus berfungsi sebagai pusat-pusat percontohan gerakan masjid. Pelan namun pasti, hampir setiap universitas sekuler mengembangkan LDK-nya sendiri, dan setiap LDK membentuk kolaborasi dengan para dosen agama Islam untuk menjamin bahwa program mentoring menjadi bagian dari perkuliahan.

Para aktivis dakwah pada akhir tahun 1980-an dan 1990-an lebih berdedikasi, ketimbang para aktivis dakwah tahun 1960-an/1970-an yang didominasi aktivis HMI/PII, dalam apresiasinya terhadap kehidupan masjid. Menurut seorang aktivis masjid kampus yang terkenal pada tahun 1990-an, Fahri Hamzah, masjid bukan merupakan pangkalan utama bagi training dan aktivitas-aktivitas HMI/PII, karena baru akhir tahun 1960-an para intelektual HMI/PII yang berorientasi dakwah mulai mengalihkan perhatiannya ke masjid sebagai basis mereka. Sementara, bagi para aktivis dakwah yang lebih kemudian, masjid bukan hanya menjadi pangkalan utama bagi training dan aktivitas-aktivitas mereka sejak awal, namun juga, bagi kebanyakan dari mereka, menjadi rumah tempat tinggal mereka.

Karena mayoritas Muslim Indonesia telah terekspos secara mendalam terhadap proses modernisasi, dan karena kebanyakan aktivis kampus juga telah sangat akrab dengan sains dan teknologi modern, maka para aktivis dakwah yang lebih kemudian ini mulai mengambil jarak dari proyek historis yang telah diemban oleh generasi-generasi inteligensia Muslim sebelumnya. Sementara yang menjadi kepedulian utama generasi sebelumnya ialah bagaimana melakukan modernisasi Islam, yang menjadi kepedulian utama dari aktivis dakwah yang lebih kemudian ialah bagaimana melakukan Islamisasi modernitas. Sebagai konsekuensinya, orang-orang seperti Imaduddin Abdulrahim dan para aktivis dakwah pada tahun 1960-an dan 1970-an, yang biasanya dipandang sebagai terlalu Islamis oleh standar pada masanya, mulai dianggap sebagai terlalu moderat oleh standar para aktivis dakwah pada akhir tahun 1980-an dan 1990-an. Misalnya saja, Abdulrahim tidak ngotot agar istrinya mengenakan jilbab, padahal hal itu oleh para aktivis dakwah 1980-an/1990-an dipandang sebagai keharusan bagi seorang pemeluk sejati Islam dan sebagai ikon bagi Islamisasi modernitas. Slogan-slogan seperti Islam adalah solusi dan Islam adalah alternatif sekarang menjadi bergema di seluruh kampus-kampus universitas.

Untuk mengkonsolidasikan kelompok-kelompok LDK dan untuk memperkuat kerjasama di antara mereka, para aktivis dari beragam latar kampus menyelenggarakan pertemuan antar LDK pertama yang disebut Forum Silaturahmi (FS)-LDK di masjid Salman ITB pada tahun 1987. Pada pertemuan antar-LDK yang kedua, yang diadakan di masjid Al-Ghifari pada tahun 1987, dirumuskan khitah LDK sebagai berikut:Perjuangan LDK didasarkan pada Islam sebagai agama Allah dan sebagai jalan hidup, dan LDK akan bersatu atas dasar ikatan syahadatForum informal ini membentuk sebuah jaringan yang mempertalikan para aktivis dakwah ini satu sama lain, sehinggamemperkuat identitas dan solidaritas kolektif mereka. Forum ini juga menjadi saluran bagi pertukaran ide-ide, pengalokasian sumber-sumber daya, dan memperkuat jaringan. FS-LDK dengan ideologi dan jaringannya berfungsi sebagai basis bagi tindakan sosio-politik yang lebih lanjut.

Di tengah-tengah gerakan reformasi, pertemuan antar-LDK kesepuluh diadakan di masjid Universitas Muhammadiyah Malang pada tanggal 25-29 Maret 1998, yang diikuti oleh 64 dari 69 LDK yang ada di seluruh Indonesia. Pertemuan itu sepakat untuk mengubah jaringan LDK menjadi Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) dengan Fahri Hamzah dari UI sebagai ketuanya yang pertama. Akronim KAMMI terinspirasikan oleh akronimKAMI, yang merupakan gerakan mahasiswa tahun 1966 yang didominasi oleh HMI. Namun, dalam KAMMI yang baru terbentuk itu, HMI tidak masuk, dan peran HMI dalam gerakan reformasi juga marjinal. KAMMI menjadi kesatuan aksi mahasiswa yang paling kuat dalam gerakan mahasiswa 1998 dan sesudahnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar