Basmalah

Basmalah

Sabtu, 09 Juni 2018

Memimpin Tanpa Uang


Oleh : Tiorivaldi

Kehidupan Mohammad Natsir
Di tengah balutan udara amat sejuk kota Alahan Panjang, di kampung Jembatan Berukir, seorang wanita bernama Khadijah, istri Idris Sutan Saripado, pada tanggal 17 Juli 1908, bertepatan dengan tahun kebangkitan nasional, melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Mohammad Natsir, yang setelah dewasa bergelar Datuk Sinarto Panjang. Gelar pusaka tersebut disematkan setelah menikah yang digunakan turun temurun dalam masyarakat Minangkabau, seperti halnya rumah gadang, rangkiang, dan balai adat.
Semenjak berumur delapan tahun, sekitar tahun 1916, Natsir berang-angan ingin masuk sekolah dasar berbahasa Belanda, Hollands Inlandse School (HIS). Ayah Natsir yang hanya seorang pekerja juru tulis di konteler di Maninjau membuat harapan Natsir untuk sekolah di HIS pemerintah pun pupus. Pada tanggal 23 Agustus 1915 munculah sekolah partikelir HIS Adabiyah padang yang didirkan oleh H. Abdullah Ahmad bersama kawan-kawannya. HIS Adabiyah merupakan salah satu sekolah bersejarah yang banyak melahirkan orang-orang berjasa dan pemimpin Negara Republik Indonesia.
Allah pun memiliki takdir tersendiri untuk Natsir, setelah 3 bulan mengecap sekolah HIS Adabiyah. Natsir mendapat kesempatan untuk mengenyam seklah di HIS Pemerintah. Selama bersekolah di HIS, Natsir “menumpang hidup” di saudagar kaya pasar solok yang bernama Haji Musa. Di situ Natsir pertama kali belajar bahasa Arab dan mengaji fiqih.
Sebagai anak juru tulis, ia pernah ditolak masuk sekolah HIS. Di Maninjau ia belajar di sekolah rakyat. “Saya belajar, tapi tak bayar uang sekolah dan tidak terdaftar sebagai murid,” katanya. Ia sekolah sembunyi-sembunyi. Jika ada inspektur sekolah datang, Natsir diminta bersembunyi dahulu.
Setelah lulus dari HIS, Natsir melanjutkan sekolah di MULO (Meer Uitegebried Lager Onderwijs) Padang. Ketika sekolah di MULO Natsir mulai aktif di Jong Sumatranen Bond dan Jong Islamieten Bond, di sanalah Natsir bertemu pertama kalinya dengan Nur Nahar, wanita yang kelak akan menjadi istri Natsir. Empat tahun Natsir menempuh sekolah MULO dari tahun 1920-1927. Setelah menyelesaikan sekolah MULO dengan nilai yang baik, Natsir mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan sekolah AMS (Alegmeene Middelbare School) di Bandung.
Mohammad Natsir adalah seorang ulama, politisi, dan pejuang kemerdekaan Indonesia. Ia merupakan pendiri sekaligus pemimpin partai politik Masyumi, dan tokoh Islam terkemuka Indonesia. Di dalam negeri, ia pernah menjabat menteri dan perdana menteri Indonesia, sedangkan di kancah internasional, ia pernah menjabat sebagai presiden Liga Muslim se-Dunia (World Muslim Congress) dan ketua Dewan Masjid se-Dunia.
Natsir mempelajari ilmu Islam secara luas di perguruan tinggi. Ia terjun ke dunia politik pada pertengahan 1930-an dengan bergabung di partai politik berideologi Islam. Pada 5 September 1950, ia diangkat sebagai perdana menteri Indonesia kelima. Setelah mengundurkan diri dari jabatannya pada tanggal 26 April 1951 karena berselisih paham dengan Presiden Soekarno, ia semakin vokal menyuarakan pentingnya peranan Islam di Indonesia hingga membuatnya dipenjarakan oleh Soekarno. Setelah dibebaskan pada tahun 1966, Natsir terus mengkritisi pemerintah yang saat itu telah dipimpin Soeharto hingga membuatnya dicekal.
Natsir banyak menulis tentang pemikiran Islam. Ia aktif menulis di majalah-majalah Islam setelah karya tulis pertamanya diterbitkan pada tahun 1929; hingga akhir hayatnya ia telah menulis sekitar 45 buku dan ratusan karya tulis lain. Ia memandang Islam sebagai bagian tak terpisahkan dari budaya Indonesia. Ia mengaku kecewa dengan perlakuan pemerintahan Soekarno dan Soeharto terhadap Islam. Selama hidupnya, ia dianugerahi tiga gelar doktor honoris causa, satu dari Lebanon dan dua dari Malaysia. Pada tanggal 10 November 2008, Natsir dinyatakan sebagai pahlawan nasional Indonesia. Natsir dikenal sebagai menteri yang "tak punya baju bagus, jasnya bertambal. Dia dikenang sebagai menteri yang tak punya rumah dan menolak diberi hadiah mobil mewah."
Beliau meninggal di Jakarta, 6 Februari 1993 pada umur 84 tahun dan kemudian dimakamkan sehari kemudian
Refleksi Hidup Juang Natsir
Mohammad Natsir merupakan salah satu tokoh pahlawan Nasional Indonesia yang ditetapkan pada tanggal 10 November 2018. Berbagai lika-liku kehidupan telah dilewatinya hingga dapat menjadi tokoh negarawan di Indonesia. Lebih dari itu, bahkan banyak penghargaan beliau dapatkan dari luar Indonesia yang menunjukkan suatu prestasi hidup yang baik. Dengan terlahir dalam keluarga yang tidak cukup bermateri, malah membuat kemandirian finansial dari sosok Mohammad Natsir sendiri terbangun. Di atas tadi sudah disebutkan bahwa beliau pernah mengatakan “Saya belajar, tapi tak bayar uang sekolah dan tidak terdaftar sebagai murid,”. Bukan hanya sekedar ijazah yang ingin diperoleh olehnya, perjuangan nya dalam menuntut ilmu bukan karena ingin sekedar tuntutan orang tua. Tetapi karena keinginan pribadi, untuk menjadi seseorang yang berjiwa besar. Pernah juga beliau mendirikan Sekolah Partikelir yang bertahan selama 10 tahun yang diberi nama “Pendidikan Islam” yang disingkat “Pendis”. Untuk mempertahankan sekolah tersebut, istrinya sampai beberapa kali mencopot gelangnya untuk digadaikan demi eksistensi dari Pendisi. Sekolah tersebut akhirnya ditutup karena paksaan dari pihak Jepang setelah kedatangan mereka ke Nusantara pada saat itu.
Mungkin tidak berlebihan jika penulis menempatkan perjuangannya yang tidak bermateri dengan sekelas perjuangan Rasul dan para sahabatnya. Beliau menjabat sebagai Menteri Penerangan dan Perdana Menteri Indonesia tanpa hidup dengan materi. Padahal jabatan sekelas itu sangat bisa untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya dalam hal materi. Amien Rais bahkan pernah mendengar cerita dari Khusni Muis (Ketua Muhammadiyah Kalimantan Selatan). Ia menuturkan bahwa pernah datang ke Jakarta untuk urusan partai (saat itu Muhammadiyah merupakan anggota istimewa Masyumi). Ketika hendak pulang ke Banjarmasin, ia mampir ke rumah Natsir untuk meminjam uang untuk ongkos pulang. Natsir lalu meminjang uang data kas majalah Hikmah yang ia pimpin. “Bayangkan, perdana menteri tidak memegang uang. Kalau sekarang, tidak masuk akal,” ujar Amien Rais. Hal tersebut hampir sama dengan keadaan-keadaan yang terjadi ketika Nabi Muhammad memimpin kaum muslimin dan para sahabat. Kita sebut saja khalifah ke 2 yaitu Umar bin Khattab yang bahkan untuk membeli pakaian anaknya tidak sanggup karena tak punya materi. Padahal itu dalam keadaan beliau sebagai pemimpin tertinggi umat Islam pada saat itu. Bayangkan berjuta-juta bisa ia kerahkan dibawah komandonya tetapi untuk hal materi beliau kesulitan
Mohammad Natsir dalam Aksiologis
Itu adalah suatu pelajaran berharga yang bisa kita ambil dari jalan hidup juang Mohammad Natsir dari sekolah yang bersembunyi-sembunyi (non-formal) hingga sampai menjadi tokoh negarawan. Bukanlah sebuah materi berlimpah yang bisa membuat seseorang menjadi besar, tetapi perjuangan keras dan ketekunan dalam belajar yang bisa menjadikan seseorang itu besar. Bukanlah ijazah SD, SMP, SMA, nilai tinggi, prestasi juara bahkan predikat cumlaude di perguruan tinggi yang membuat seseorang bisa hidup sejahtera nan estetik. Tetapi bagaimana cara ia memperoleh ilmu tersebut, dan apa yang dilakukan selama hidupnya yang menjadikan seseorang menjadi besar. Pada akhirnya apa yang menjadi paling penting dalam kehidupan ini adalah “Apakah anda telah memberikan manfaat dalam kehidupan anda ?”, “Apakah kematian anda menyisakan banyak kesedihan pada orang lain ?” dan pada akhirnya pertanyaan yang paling terpenting dalam hidup ini adalah “Kenapa anda diciptakan ?”  . Dalam hidup ini hanya ada dua bentuk, yaitu benar atau salah; positif atau negatif; kanan atau kiri; baik atau buruk. Tidak ada yang namanya kehidupan tengah melainkan itu hanya dipakai dalam sikap sosial anda terhadap suatu lingkungan


Sumber Referensi dan Tulisan :
·         Wikipedia
·         Seri Buku Diskusi Online Indonesia. 2017. Jalan Hidup Para Pejuang. Surabaya: Pustaka Saga
·         Basri, Agus. 2008. Mohammad Natsir Politik Melalui Jalur Dakwah. Panitia Peringatan Refleksi Seabad Mohammad Natsir Pemikiran dan Perjuangannya & Penerbit Media Dakwah
·         Panitia Buku Peringatan Mohammad Natsir. 1978. Mohammad Natsir 70 Tahun: Kenang-Kenangan Kehidupan dan Perjuangan. Jakarta: Pustaka Antara
·         Tim Buku Tempo. 2011. Natsir: Politik Santun di Antara Dua Rezim. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia



Tidak ada komentar:

Posting Komentar